Selasa, 14 Oktober 2008

BENTUK DAN PENYEBAB KERUSAKAN HUTAN

A. Tingkat Kerusakan Hutan Di Indonesia
Menurut Bank Dunia dalam kurun waktu 1985-1997 degradasi hutan di Indonesia rata-rata 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hektar hutan produksi yang tersisa. Sedangkan berdasarkan analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Departemen Kehutanan menegaskan bahwa sampai tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun
Sebagian besar kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh aktivitas ilegal logging atau pembalakan liar termasuk di dalamnya penebangan secara berlebihan dan penebangan pohon di luar blok tebangan yang dilakukan oleh pemegang ijin. Selebihnya dikarenakan kebakaran hutan, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman, konversi tegakan hutan alam, penambangan liar, pendudukan kawasan dan perambahab hutan.
B. Penyebab Terjadinya Kerusakan Hutan
Berdasarkan pelakunya penyebab kerusakan hutan di Indonesia dapat disebabkan oleh karena perbuatan manusia, ternak, hama dan penyakit, kebakaran serta daya-daya alam.
1. Disebabkan oleh manusia
Penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia sebagian besar adalah merupakan kegiatan aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan dan hasil hutan baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal. Kerusakan hutan yang sangat dominan dan telah menjadi ancaman terhadap kelestarian adalah pembalakan liar.
Pembalakan liar di Indonesia sudah semakin menghawatirkan dan sulit untuk diberantas. Adapun faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab terjadinya pembalakan liar adalah, sebagai berikut:
a. Kesenjangan suplai dan tersedianya bahan baku industri, tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan. Akibat dari ketimpangan antara persediaan dan permintaan, ikut mendorong penebangan liar di taman nasional dan hutan konservasi Kondisi ini diperparah lagi dengan tumbuhnya industri kayu tanpa izin dekat lokasi penebangan dan penimbunan kayu di mana transaksi jual beli kayu tanpa dokumen berlangsung.
b. Bertambahnya jumlah penduduk yang sangat pesat disisi lain berkurangnya tanah pertanian disertai keadaan sosial ekonomi masayarakat disekitar hutan yang rendah dan terbatasnya lapangan pekerjaan, telah mendorong masyarakat untuk merambah kawasan hutan, membuka hutan dan memanfaatkan hasil hutan secara liar.
c. Lemahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi hutan dan kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan masyarakat mudah melakukan perusakan hutan.
d. Lemahnya penegakan hukum, karena:
1) Kurangnya ketegasan hukum dan keberanian aparat terkait untuk menindak korporat, pejabat dan oknum aparat itu sendiri yang melakukan atau mendukung pembalakan liar.
2) Terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada proses pengelolaan hutan, sehingga instansi dan aparat yang bertanggungjawab terhadap perlindungan hutan terkesan lamban dalam mengatasi penyimpangan dalam pengelolaan hutan atau cenderung membenarkan hal yang tidak benar.
e. Meningkatnya krisis moral, sehingga terjadi praktik pembalakan liar yang melibatkan masyarakat, korporat, aparat, dan pejabat.
f. Belum efektifnya manajemen pengelolaan hutan di Indonesia, yang antara lain disebabkan:
1) Terbatasnya Sumber Daya Manusia, belum proporsionalnya antara jumlah dan kwalitas serta penyebaran tenaga perlindungan dan pengaman hutan dengan luas kawasan hutan yang dikelola.
2) Terbatasnya Sumber Daya Finansial, rendahnya satuan biaya pengelolaan hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan produksi yang lestari. Sebagai contoh Kawasan Hutan Taman Nasional di Indonesia yang dikelola secara intensif melebihi kawasan hutan lainnya hanya memiliki biaya pengelolaan Rp.6.000,- s/d Rp. 10.000,- perhektar/bulan.
3) Terbatasanya Sarana dan Prasarana, demikian pula sarana dan prasarana serta peralatan pengelolaan hutan yang tersedia sangat terbatas serta konvensional.
g. Terjadinya tumpang tindih regulasi karena kebutuhan dan disparitas interpretasi terhadap peraturan dan perundangan bidang kehutanan telah ikut mendorong terjadinya pemanfaatan hutan yang tidak lestari.
h. Tumpang tindih kewenangan dan tanggungjawab pengelolaan dibidang kehutanan yang kurang jelas, menyebabkan peluang pengelolaan hutan yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan menjadi lebih besar.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 gangguan terhadap kelestarian hutan yang disebabkan oleh tindakan manusia, dapat dirinci sebagai berikut :
a. Melakukan penambangan pada kawasan hutan lindung dengan pola pertambangan terbuka. Pasal 38 ayat 3 UU Nomor 41 Tahun 1999.
b. Menggunakan kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa ijin dari Menteri Kehutanan. Pasal 38 ayat 3 UU Nomor 41 Tahun 1999.
c. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. Yaitu merusak parasarana perlindungan hutan yang antara lain: pagar-pagar batas kawasan hutan, pal batas hutan, ilaran api, menara pengawas dan jalan pemeriksaan. Dan merusak sarana perlindungan seperti: alat pemadam kebakaran, tanda larangan, rambu-rambu pengamanan hutan dan alat angkut. Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999.
d. Melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan akibat diberikannya izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Yaitu terjadinya perubahan fisik, sifat atau hayati, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999.
e. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Pasal 50 ayat (3) huruf a UU Nomor 41 Tahun 1999. Yang dimaksud dengan:
1) Mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.
2) Menggunakan kawasan hutan secara tidak sah adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ijin yang diberikan.
3) Menduduki kawasan hutan secara tidak sah adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung dan bangunan lainnya.
f. Merambah hutan. Melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Nomor 41 Tahun 1999.
g. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan Pasal 50 ayat (3) huruf c UU Nomor 41 Tahun 1999 :
1) 500 m dari kiri kanan tepi sungai
2) 200 m dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
3) 100 m dari kiri kanan tepi sungai
4) 50 m dari kiri kanan tepi anak sungai
5) kali kedalaman jurang dari tepi jurang
6) 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai
h. Membakar hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf d UU Nomor 41 Tahun 1999
i. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Nomor 41 Tahun 1999. Termasuk dalam kegiatan pemanfaatan hutan tanpa izin ialah :
1) pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan di luar areal yang diberikan izin;
2) pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan melebihi target volume yang diizinkan;
3) pemegang izin melakukan penangkapan/pengumpulan flora fauna melebihi target/quota yang telah ditetapkan;
4) pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan dalam radius dari lokasi tertentu yang dilarang undang-undang.
j. Menerima,membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Pasal 50 ayat (3) huruf f UU Nomor 41 Tahun 1999.
k. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa ijin Menteri. Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Nomor 41 Tahun 1999. Yang dimaksud dengan:
1) Melakukan kegiatan penyelidikan umum tanpa ijin adalah melakukan kegiatan penyelidikan umum atau geofisika di daratan, perairan dan dari udara, dengan maksud membuat peta geologi umum atau menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang.
2) Melakukan eksplorasi tanpa ijin adalah melakukan segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat letaknya.
3) Melakukan kegiatan eksploitasi tanpa ijin adalah melakukan kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang.
l. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf h UU Nomor 41 Tahun 1999. Termasuk dalam pengertian hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan adalah :
1) Asal usul hasil hutan dan tempat tujuan pengangkutan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan;
2) Apabila keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan isi yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan;
3) pada waktu dan tempat yang sama tidak disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti;
4) Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya telah habis;
5) hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat keterangan sahnya hasil hutan diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
m. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Nomor 41 Tahun 1999.
n. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin yang berwenang. Alat-alat berat yang dimaksud antara lain: Traktor Buldozer, truk, loging truck, tariler, crane, tongkang, perahu klotok, helicopter, jeep, tugboat dan kapal. Pasal 50 ayat (3) huruf j UU Nomor 41 Tahun 1999.
o. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf k UU Nomor 41 Tahun 1999.
p. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf l UU Nomor 41 Tahun 1999.
q. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf m UU Nomor 41 Tahun 1999.
r. Mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 50 ayat (4) UU Nomor 41 Tahun 1999
Berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tindak pidana bidang kehutanan dam konservasi sumber daya alam hayati, diuraikan sebagai berikut :
a. Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1990 Maksud dari perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya, mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas suaka alam, perburuan satwa yang berada dalam kawasan serta menambah dan memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
b. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati. Pasal 21 ayat (1) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1990
c. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Pasal 21 ayat (1) huruf b UU Nomor 5 Tahun 1990
d. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Pasal 21 ayat (2) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1990
e. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati. Pasal 21 ayat (2) huruf b UU Nomor 5 Tahun 1990
f. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Pasal 21 ayat (2) huruf c UU Nomor 5 Tahun 1990
g. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau megeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Pasal 21 ayat (2) huruf d UU Nomor 5 Tahun 1990
h. Mengambil , merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 21 ayat (2) huruf e UU Nomor 5 Tahun 1990
i. Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Maksud perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional adalah mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Pasal 33 ayat (1)
j. Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Pasal 33 ayat (3).

2. Disebabkan Oleh Ternak
Kerusakan akibat penggembalaan ternak dalam hutan dapat menyebabkan seluruh pohon mati, bahkan dapat menimbulkan erosi tanah. Derajad kerusakan yang diderita hutan tergantung pada jenis serta jumlah ternak, intensitas penggembalaan dan jenis pohon penyusun hutan. Jenis berdaun lebar akan lebih disukai ternak daripada yang berdaun jarum. Intinya, spesies yang berbeda dapat memberikan reaksi yang berbeda terhadap penggembalaan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penggembalaan di hutan adalah :
a. Populasi ternak disekitar kawasan hutan.
Semakin besar populasi ternak yang hidup di sekitar hutan maka akan semakin banyak pakan ternak yang dibutuhkan sehingga semakin besar kemungkinan ternak digembalakan di hutan untuk memenuhi kebutuhan pakannya.
b. Jumlah hijauan ternak yang mampu dihasilkan di desa sekitar hutan.
Tidak adanya lahan di pedesaan sekitar hutan yang dapat digunakan untuk penydiaan ternak guna memenuhi kebutuhan ternak akan menyebabkan masuknya pemilik ternak, baik sendiri maupun bersama ternaknya, ke hutan untuk mencari pakan ternak.
c. Teknik memelihara ternak yang dilakukan oleh masyarakat. Peternakan sistem lepas menyebabkan penggembalaan ternak dihutan.
d. Intensitas pengawasan oleh pengelola kawasan hutan. Kurangnya pengawasan memungkinkan masuknya ternak di hutan.
Akibat yang terjadi :
a. Kerusakan Terhadap Tanah Hutan
Ternak yang digembalakan di dalam hutan, misalnya lembu dan kambing, apabila populasinya berlebihan akan menyebabkan banyak tanah menjadi terbuka karena rumput dan tanaman yang melindungi tanah dimakan ternak. Injakan kaki ternak dapat mengakibatkan tanah terkais sehingga bila hujan akan mudah dibawa oleh aliran air. Tanah akan menjadi padat, pori-pori tanah tertutup oleh partikel-partikel tanah dan air hujan akan menggenang di permukaan tanah. Akibat dari semua itu akan dapat menimbulkan suatu erosi tanah, terutama tanah-tanah yang miring akan lebih cepat tererosi.
Tanah-tanah yang miring dan hutan-hutan yang berfungsi untuk melindungi tata air atau sumber air merupakan daerah yang harus bebas dari penggembalaan ternak.
b.Kerusakan tanah Tanaman Muda
Tanaman muda yang dimaksud adalah tanaman yang tajuknya masih dapat dicapai oleh ternak. Tanaman muda sangat peka terhadap penggembalaan. Karena tajuknya yang masih rendah dan batangnya masih lemah, bila dimasuki ternak maka akan dapat berakibat :
1) daun/tajuk tanaman dimakan sampai gundul,
2) batang tanaman dapat melengkung atau patah,
3) seluruh tanaman dapat tercabut,
4) kulit batang sering dimakan dan terkupas.
c. Menularkan penyakit pada satwa liar
Ternak yang digembalakan didalam hutan dapat menularkan penyakit kepada satwa liar yang hidup didalam hutan. Kasus yang populer terjadi di TN. Ujung Kulon yaitu kematian Badak Jawa, karena penyakit antrak yang ditularkan dari Kerbau yang digembalakan masyarakat di gunung Honje pada tahun 1981.

3. Disebabkan Oleh Hama dan Penyakit
a. Hama
Di hutan alam hidup berbagai jenis hewan dan serangga, selama hewan dan serangga tidak menimbulkan kerusakan terhadap tanaman yang secara ekonomis berarti maka serangga dan hewan tersebut belum disebut sebagai hama. Akan tetapi jika serangga dan hewan tersebut sudah menimbulkan kerusakan terhadap jenis tanaman hutan yang secara ekonomis berarti maka serangga atau hewan penyebab kerusakan terhadap jenis tanaman hutan dapat disebut sebagai hama.
Di hutan alam yang hidup berbagai jenis tumbuhan dan satwa sangat jarangsekali terjadi kerusakan tanaman hutan akibat adanya serangga atau hewan. Keadaan ini dikarenakan adanya hubungan antara mahluk hidup dan lingkungannya di hutan alam sangat kompleks sehingga memperkuat kestabilan ekosistem. Bebeda dengan hubungan antara mahluk hidup dan lingkungannya di areal hutan tanaman industri yang cenderung monokultur atau memiliki keanekaragaman hayati rendah telah membuat kondisi ekosistem yang labil. Keadaan ini yang memicu terjadinya hama tanaman hutan.
Hukum ekologi menyatakan bahwa makin rendah keragaman suatu areal maka keadaan areal tersebut semakin labil.keadaan lanil ini akan membuat dan mempermudah meledaknya suatu populasi jenis serangga dan hewan tertentu yang dapat menjadi hama bagi jenis tanaman tertentu pula.
Apabila populasi margasatwa tersebut berlebihan (over population), maka akan menimbulkan kerusakan dalam ekosistem hutan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat terjadi pada : (1) daun dari pohon, (2) pucuk dan tunas pohoh, (3) kulit pohon, (4) batang pohon, (5) semai dan anakan, (6) biji dan buah, dan (7) kerusakan tidak langsung akibat luka pohon yang ditimbulkan, (8) menjadi pemangsa atau memakan populasi spesies lain.
Di beberapa negeri terdapat jenis-jenis binatang pengerat yang dapat menumbangkan pohon dengan memotong batang pohon sampai putus. Margasatwa dan pohon-pohon di hutan yang hidup bersama merupakan suatu masyarakat yang masing-masing mempunyai hubungan erat. Tindakan manusia pada salah satu organisme tersebut akan mempengaruhi organisme lainnya. Misalnya aktivitas manusia dalam penembangan atau pemelirahaan hutan akan mempengaruhi kehidupan dan populasi margasatwa, yang berarti pula dapat mengubah kerusakan hutan yang disebabkan oleh margasatwa.
Tiap-tiap daerah atau negeri mempunyai macam dan jumlah satwa liar yang berbeda. Di Indonesia pada umumnya kerusakan hutan akibat satwa liar ditimbulkan oleh rusa, bajing, tikus, babi, kelinci dan burung.
1) Rusa, kerusakan yang ditimbulkan oleh rusa mirip dengan kerusakan yang disebabkan oleh penggembalaan kambing, walaupun jenis makanannya tidak sama. Lebih kurang 60% makanan rusa juga disukai oleh kambing. Rusa juga sangat merusak tanaman-tanaman muda dan anakan.
2) Bajing, kerusakan yang ditimbulkan pada bajing dapat terjadi pada biji, buah, pucuk, tunas dan kulit pohon. Binatang ini hidup di pohon bagian atas. Bajing dapat berguna untuk membantu pemencaran jenis tanaman, karena sering membawa biji atau buah ke tempat yang agak jauh dari pohonnya dan menyembunyikan di tanah sehingga memperbesar kemungkinan biji tumbuh menjadi tumbuhan baru.
3) Tikus, binatang ini merusak biji, mengerat kulit dari anakan dan tanaman muda sampai mati. Pada hutan tanaman industri tikus juga merusak benih yang disimpan, benih yang disemai, dan merusak persamaian. Bagian yang dirusak biasanya dekat dengan tanah terutama yang tertutup serasah. Di beberapa daerah terdapat jenis tikus yang hidup dipohon bagian atas. Tikus menyukai hutan yang mempunyai tanaman penutup tanah dan serasah yang lebat.
4) Babi hutan, binatang ini sering merusak biji, buah, akar-akar pohon, anakan, dantanaman muda. Sistem penanaman tumpangsari terutama yang menggunakan umbi-umbian akan sering didatanngi babi hutan.
5) Kelinci, kerusakan yang ditimbulkan kelinci terjadi pada pucuk dan tunas, tanaman muda, cabang-cabang kecil, batang dan kulit pohon. Binatang ini sering mengerat pohon dan menimbulkan kematian.
6) Burung, sebenarnya lebih banyak manfaatnya dibanding dengan kerugiannya. Misalnya memencarkan jenis tanaman melalui biji, memakan serangga yang merugikan, juga memakan binatang-binatang kecil (bajing, tikus, kelinci) yang membuat kerusakan pada hutan. Burung dianggap merusak karena ada beberapa jenis burung yang sering melubangi pohon untuk tempat tinggalnya, atau mematuk-matuk pohon untuk mencari makanan, meskipun kegiatan ini juga menguntungkan karena mengurangi populasi serangga hama.
7) Kera, dapat merusak daun, ranting bunga, buah maupun kulit batang, sehingga pohon-pohon akan meranggas dan akhirnya mati. Kasus hancurnya habitat bekantan di Pulau Kaget Kalimantan Selatan pada akhir tahun 90-an merupakan contoh yang sangat menarik sebagai bahan pelajaran berharga.
8) Spesies infasive, Tumbuhan dan hewan invasive baik asli maupun eksotik tidak diinginkan dan merupakan tambahan yang berbahaya di kawasan alam yang dilindungi. Contoh di mana spesies invasive/eksotik menjadi hama yang buruk di kawasan baru dan sering juga menyaingi dan menggantikan spesies setempat. Kelinci dan buah pir berduri ke Australia yang membawa malapetaka itu adalah kasus lain yang terdokumentasikan dengan baik. Pesannya jelas : spesies eksotik tidak boleh diintroduksikan ke habitat yang baru kecuali dalam keadaan khusus. Etapi, dalam beberapa kategori kawasan dilindungi dengan pemanfaatan ganda, atau dalam keadaan khsusu dikawasan dilindungi lainnya, spesies eksotik kadang-kadang dapat memegang peranan penting dan berguna (misalnya spesies ekostik yang diintroduksikan ke kawasan pemanfaatan ganda untuk tujuan ekonomi ; menstabilkan kawasan yang peka erosi, pengendalian biologi eksotik lainnya atau spesies hama). Untuk alasan apapun, introduksi suatu spesies eksotik perlu mempertimbangkan butir-butir berikut :
a) Jangan mengintrodusikan spesies yang memiliki potensi sebagai hama, misalnya telah diketahui memakan ternak piaraan atau tanaman, dikenal sebagai pembawa penyakit berbahaya, spesies yang kapasitas penyebarannya dan pengembangbiakannya tinggi, atau ekologinya hampir setara dengan spesies lokal.
b) Hindari introduksi spesies eksotik bila spesies lokal dapat berbuat hal yang sama, misalnya spesies yang dimanfaatkan sebagai pohon pelindung. Sama halnya jangan menggunakan tanaman hias atau tanaman bunga eksotik di kebun bunga sekitar bangunan gedung taman.
c) Perlu berhati-hati agar bila diperlukan jenis eksotik tersebut dapat dikendalikan atau dibasmi.
d) Membuat introduksi percobaan pada kawasan sempit yang terisolasi di mana spesies eksotik dapat dimusnahkan bila hasil percobaan tidak memuaskan.
e) Jenis eksotik penting, misalnya syauran yang ditanam untuk konsumsi staf, hewan pengangkut barang untuk keperluan pengelolaan, harus seminimal mungkin dan ditempatkan di luar kawasan yang dilindungi atau bilaman lebih praktis dibatasi pada kawasan pengembangan.
f) Hindari introduksi spesies sekunder atau penyakit pada spesies ekostik.
b. Penyakit
Hutan dikatakan sakit apabila pohon-pohon yang ada di dalamnya mengalami tekanan secara terus menenerus oleh faktor-faktor biotik atau oleh faktor-faktor abiotik lingkungannya sedemikian rupa hingga menimbulkan kerugian. Kerugian ini dapat berbentuk kwalitas maupun kwantitas tegakan pohon.
Pohon menjadi sakit karena adanya aktifitas terus menerus dari penyebab penyakit pada pohon tersebut dan terjadi dalam waktu yang lama. Akibat aktifitas dari penyebab penyakit yang terus menerus tersebut pohon menjadi merana, cacat bahkan menimbulkan kematian. Berbagai macam penyebab penyakit yang dapat menular diantaranya adalah: bakteri, fungi dan virus. sedangkan mcam-macam penyebab penyakit yang tidak menular, yaitu: Ph tanah, tidak tersedianya unsur-unsur hara tertentu di dalam tanah, kandungan air tanah, adanya zat-zat kimia tertentu akibat limbah industri pada kandungan tanah dan lain-lain.

4. Disebabkan Oleh Daya-Daya Alam
Gangguan kawasan hutan yang disebabkan oleh daya-daya alam secara prinsip tidak bisa dihindari karena di luar kekuatan manusia. Daya-daya alam yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kawasan hutan, misalnya adanya halilintar dan petir, gesekan oleh bahan-bahan atau material yang dapat menyebabkan timbulnya api, potensi batubara yang tinggi yang dapat menghasilkan panas bumi, dll. Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka Perlindungan hutan dari daya-daya alam terdiri dari :
a. Letusan gunung, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu pemantauan proses alam dan normalisasi saluran lahar.
b. Tanah longsor, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu pembuatan terasering dan penanaman jenis tanaman perakaran dalam.
c. Banjir, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu reboisasi dan penghijauan
d. Badai, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu menanam pohon pemecah angin
e. Kekeringan, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu melindungi sumber air, cek dam dan waduk.
f. Gempa, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu membuat peta rawan gempa.

C. Pelaku Tindak Pidana Kehutanan
Tindak Pidana Kehutanan adalah suatu perbuatan yang dilarang maupun diwajibkan Undang-undang dan peraturan yang mengatur kehutanan yang apabila dilanggar atau diabaikan maka kepada orang yang melanggar atau yang mengabaikan tersebut diancam dengan pidana atau sanksi hukuman. Dalam Pasal 55 KUHP dinyatakan bahwa orang yang disebut sebagai pelaku tindak pidana, adalah:
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. Orang yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
3. Orang yang menganjurkan, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Sedangkan Pasal 56 KUHP juga menyatakan bahwa orang dapat disebut sebagai pembantu pelaku tindak pidana jika:
1. Orang tersebut sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. Orang tersebut sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Pelaku tindak pidana bidang kehutanan secara umum dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Perorangan, yaitu tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan oleh perorangan,
2. Kelompok Masyarakat, tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau secara bersama-sama.
3. Organisasi atau Pelaku Usaha, seperti Kelompok Tani atau koperasi yang melakukan penebangan hutan dengan dalih membuat perkebunan, Perusahaan yang umumnya melakukan penebangan pohon diluar blok dan pembukaan hutan untuk perkebunan, pembakaran hutan dan lain-lain.

D. Kerugian Dan Dampak Kerusakan Hutan
Sebagai akibat dari kerusakan hutan yang terus berlanjut, kerugian dan danpak negatif yang telah ditimbulkan, diantaranya adalah:
1. Pendapatan negara berkurang sekitar US$1.4 milyar setiap tahun, kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan.
2. Kehancuran sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya serta menurunnya kwalitas kehidupan masyarakat.
3. Keseimbangan lingkungan dan kelestarian ekologi sumber daya alam terganggu, sehingga terjadi krisis air, becana tanah longsor, banjir, perubahan cuaca (global warming).
4. Krisis sosial, meningkatkan ketegangan dalam masyarakat, masyarakat rawan konflik dan mudah diadu domba.
5. Dalam hubungan internasional walaupun Indonesia memiliki kawasan hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, tetapi akibat deforestasi yang terus berlanjut posisi tawar Indonesia menjadi lemah.

Tidak ada komentar: